Profesi dan etika guru
A. Pendahuluan
Ada
beberapa istilah yang harus diterangkan dahulu maksudnya sebelum kita
melanjutkan pembicaraan kita mengenai tajuk kertas ini. Pertama sekali adalah
keguruan. Maksudnya pekerjaan sebagai guru. Jadi ia adalah salah satu kerja
(profesion) sebagaimana halnya dengan kerja-kerja yang lain dalam masyarakat
seperti akuntan, Dokter, konseling, kejuruteraan, perniagaan dan lain-lain
sebagainya. Sebagai sebuah kerja keguruan, ia tunduk kepada pelbagai syarat
yang dikenakan kepada kerja-kerja yang lain seperti kode etika dan sebagainya.
Kedua kode etika adalah aturan-aturan yang disepakati bersama oleh ahli-ahli
yang mengamalkan kerja tertentu seperti akuntan, Dokter, konseling dan
sebagainya.
Ketiga, nilai-nilai yang menyertai setiap kerja itu seperti memberi
perkhidmatan yang sebaik-baiknya kepada pelanggan dan sebagainya. Ini semua
adalah nilai.
Keempat pengamalan, memang semua kerja mementingkan amalan. Sebab
setiap pemegang kerja itu dipanggil pengamal (practitioner) dalam bidang
tertentu seperti akuntan, Dokter, konseling dan lain-lain. Tetapi sebelum
sampai kepada amalan, nilai-nilai kerja itu harus dihayati (intemalized) lebih
dahulu, ini yang membawa kita kepada aspek terakhir pada makalah, yaitu
penghayatan.
Kelima penghayatan, yaitu
penghayatan nilai-nilai. Kalau ilmu seperti matematika, pengobatan dan
lain-lain dipelajari, maka nilai-nilai seperti keikhlasan, kejujuran, dedikasi
dan lain-lain itu dihayati. Kalau mau dipertegaskan lagi makalah ini sebenarnya
diharapkan menjawab persoalan bagaimana cara membimbing guru-guru pendidikan
Islam agar menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam etika keguruan itu.
Oleh yang demikian marilah kita membicarakan dahulu di bawah ini apakah etika
keguruan itu.
B. Maksud Mengajar
Mengajar sebenarnya bermaksud menyampaikan ilmu pengetahuan maklumat,
memberi galakan, membimbing, memberi dan meningkatkan kemahiran, meningkatkan
keyakinan, menanam nilai-nilai murni dan luhur kepada para pelajar yang belum
mengetahui. Ia bukan sekadar menyampaikan maklumat atau bahan pengajaran dalam
sebuah kelas. lebih mendukacitakan lagi jika proses mengajar dianggap sekadar
menyampai maklumat dan menghabiskan sukatan pelajaran yang telah ditetapkan
dalam kurikulum. Proses mengajar mempunyai konsep yang sangat luas, ia
bertujuan untuk menjadikan seseorang individu itu lebih bertanggungjawab dan
mampu menjana fikirannya untuk terus bahagia dan berjaya mengatasi cabaran yang
akan dihadapai. Ini hanya akan dicapai sekiranya proses pengajaran dan
pembelajaran yang dilakukan mencapai tahap pengajaran berkesan.
C. Siapa itu Guru?
Orang yang mengajar dikenali sebagai guru. Perkataan guru adalah hasil
gabungan dua suku kata iaitu `Gur’ dan `Ru’.
Dalam bahasa jawa, Gu diambil daripada perkataan gugu bermakna boleh
dipercayai manakala Ru diambil daripada perkataan tiru yang bermaksud boleh
diteladani atau dicontohi. Oleh itu, GURU bermaksud seorang yang boleh ditiru
perkataannya, perbuatannya, tingkah lakunya, pakaiannya, amalannya dan boleh
dipercayai bermaksud keamanahan yang dipertanggungjawabkan kepadanya untuk
dilakukan dengan jujur.
D. Peranan dan Tugas Mengajar
Setiap guru seharusnya mengetahui peranan dan tugas mereka secara
terperinci jika mereka ingin berusaha melakukan dan menghasilkan pengajaran
yang berkesan.
Di antara tugas seorang guru ialah
1. menyampaikan ilmu pengetahuan
2. menyampaikan maklumat
3. menyampai dan
4. memberi kemahiran serta
5. memupuk nilai-nilai murni dan luhur sebagaimana yang telah
disebutkan di atas.
Manakala peranan guru pula
ialah sebagai pembimbing, pendidik, pembaharu, contoh dan teladan, pencari dan
penyelidik, penasihat dan
kaunselor, pencipta dan pereka, pencerita dan pelakon, penggalak dan
perangsang, pengilham cita-cita, pengurus dan perancang, penilai, pemerhati,
rakan dan kawan pelajar, doktor dan pengubat, penguat kuasa, pemberi petunjuk
orang yang berwibawa dan sebagainya.
Jelas menunjukkan bahawa menjadi
seorang guru merupakan satu tugas dan peranan yang agak berat. Sebenarnya, jika
anda anggap tugas itu berat,
maka beratlah ia. Jika anda terima ia sebagai satu cabaran dengan cara yang
positif, maka mudahlah ia.
E. Pengertian Profesi
Profesi berasal dari bahasa
latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan
pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi:
kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang dilakukan
dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan
keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma
sosial dengan baik.
Jabatan Guru Sebagai Suatu
Profesi. Jabatan guru dapat dikatakan sebuah profesi karena menjadi seorang
guru dituntut suatu keahlian tertentu (mengajar, mengelola kelas, merancang
pengajaran) dan dari pekerjaan ini seseorang dapat memiliki nafkah bagi
kehidupan selanjutnya. Hal ini berlaku sama pada pekerjaan lain. Namun dalam
perjalanan selanjutnya, mengapa profesi guru menjadi berbeda dari pekerjaan
lain. Menurut artikel “The Limit of Teaching Proffesion,” profesi guru termasuk
ke dalam profesi khusus selain dokter, penasihat hukum, pastur. Kekhususannya
adalah bahwa hakekatnya terjadi dalam suatu bentuk pelayanan manusia atau
masyarakat. Orang yang menjalankan profesi ini hendaknya menyadari bahwa ia
hidup dari padanya, itu haknya; ia dan keluarganya harus hidup akan tetapi
hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang menjadi
motivasi utamanya, melainkan kesediaannya untuk melayani sesama.
Di lain pihak profesi guru
juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa
seorang guru dalam melaksanakan profesinya dituntut adanya budi luhur dan
akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam keadaan darurat dianggap wajib juga
membantu tanpa imbalan yang cocok. Atau dengan kata lain hakikat profesi luhur adalah pengabdian kemanusiaan.
F. Dua Prinsip Etika Profesi Luhur
Tuntutan dasar etika profesi
luhur yang pertama ialah agar profesi itu dijalankan tanpa pamrih. Dr. B. Kieser menuliskan: “Seluruh ilmu
dan usahanya hanya demi kebaikan pasien/klien. Menurut keyakinan orang dan
menurut aturan-aturan kelompok (profesi luhur), para profesional wajib
membaktikan keahlinan mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani,
tanpa menghitung untung ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi,
cacat jiwa pokok dari seorang profe-sional ialah bahwa ia mengutamakan
kepentingannya sendiri di atas kepentingan klien.”
Yang kedua adalah bahwa para
pelaksana profesi luhur ini harus memiliki pegangan atau pedoman yang ditaati
dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar kepercayaan para klien tidak
disalahgunakan. Selanjutnya hal ini kita kenal sebagai kode etik. Mengingat
fungsi dari kode etik itu, maka profesi luhur menuntut seseorang untuk
menjalankan tugasnya dalam keadaan apapun tetap menjunjung tinggi tuntutan
profesinya.
Kesimpulannya adalah jabatan
guru juga merupakan sebuah profesi. Namun demikian profesi ini tidak sama
seperti profesi-profesi pada umumnya. Bahkan boleh dikatakan bahwa profesi guru
adalah profesi khusus luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menginsafi
dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi
kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah
diikrarkannya, bukan semata-mata segi materinya belaka.
G. Tuntutan Seorang Guru
Di atas telah dijelaskan
tentang mengapa profesi guru sebagai profesi khusus dan luhur. Berikut akan
diuraikan tentang dua tuntutan yang harus dipilih dan dilaksanakan guru dalam
upaya mendewasakan anak didik. Tuntutan itu adalah:
1. Mengembangkan visi anak didik tentang apa yang baik dan
mengembangkan self esteem anak didik.
2. Mengembangkan potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara
kritis terhadap pilihan-pilihan. Secara konkrit anak didik mampu mengambil
keputusan untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik.
Apabila seorang guru dalam
kehidupan pekerjaannya menjadikan pokok satu sebagai tuntutan yang dipenuhi
maka yang terjadi pada anak didik adalah suatu pengembangan konsep manusia
terhadap apa yang baik dan bersifat eks-klusif. Maksudnya adalah bahwa konsep
manusia terhadap apa yang baik hanya dikembangkan dari sudut pandang yang sudah
ada pada diri siswa sehingga tak terakomodir konsep baik secara universal. Dalam
hal ini, anak didik tidak diajarkan bahwa untuk mengerti akan apa yang baik
tidak hanya bertitik tolak pada diri siswa sendiri tetapi perlu mengerti konsep
ini dari orang lain atau lingkungan sehingga menutup kemung-kinan akan
timbulnya visi bersama (kelompok) akan hal yang baik.
Berbeda dengan tujuan yang
pertama, tujuan yang kedua lebih menekankan akan kemampuan dan peranan
lingkungan dalam menentukan apa yang baik tidak hanya berdasarkan pada diri
namun juga pada orang lain berikut akibatnya. Di lain pihak guru mempersiapkan
anak didik untuk melaksanakan kebebasannya dalam mengembangkan visi apa yang
baik secara konkrit dengan penuh rasa tanggung jawab di tengah kehidupan
bermasyarakat sehingga pada akhirnya akan terbentuklah dalam diri anak sense of
justice dan sense of good. Komitmen guru dalam mengajar guna pencapaian tujuan
mengajar yang kedua lebih lanjut diuraikan bahwa guru harus memiliki loyalitas
terhadap apa yang ditentukan oleh lembaga (sekolah). Sekolah selanjutnya akan
mengatur guru, KBM dan siswa supaya mengalami proses belajar-mengajar yang
berlangsung dengan baik dan supaya tidak terjadi penyalahgunaan jabatan. Namun
demikian, sekolah juga perlu memberikan kebebasan bagi guru untuk
mengembangkan, memvariasikan, kreativitas dalam merencanakan, membuat dan
mengevaluasi sesuatu proses yang baik (guru mempunyai otonomi). Hal ini menjadi
perlu bagi seorang yang profesional dalam pekerjaannya.
Masyarakat umum juga dapat
membantu guru dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan
karena masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap `proses’ anak didik. Ma-syarakat
dapat mengajukan saran, kritik bagi lembaga (sekolah). Lembaga (sekolah) boleh
saja mempertimbangkan atau menggunakan masukan dari masyarakat untuk
mengembangkan pendidikan tetapi lembaga (sekolah) atau guru tidak boleh
bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat karena hal ini menyebabkan
hilangnya profesionalitas guru dan otonomi lembaga (sekolah) atau guru.
Dengan demikian, pemahaman
akan visi pekerjaan sesuai dengan etika moral profesi perlu dipahami agar
tuntutan yang diberikan kepada guru bukan dianggap sebagai beban melainkan visi
yang akan dicapai guru melalui pro-ses belajar mengajar. Guru perlu diberikan
otonomi untuk mengembangkan dan mencapai tuntutan tersebut.
H. Etika Keguruan
Sebenarnya kode etika pada
suatu kerja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri vokasional, ilmiah dan aqidah
yang harus dimiliki oleh seorang pengamal untuk sukses dalam kerjanya. Lebih
ketara lagi ciri-ciri ini jelas pada kerja keguruan. Dari segi pandangan Islam,
maka agar seorang muslim itu berhasil menjalankan tugas yang dipikulkan
kepadanya oleh Allah S.W.T pertama sekali dalam masyarakat Islam dan seterusnya
di dalam masyarakat antarabangsa maka haruslah guru itu memiliki sifat-sifat
yang berikut:
1. Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat bimbingan
Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surah Al-imran, ayat 79, “Tetapi
jadilah kamu Rabbani (mendapat bimbingan Tuhan)”.
2. Bahwa ia mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi
ilmu-ilmu pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan
dunia dalam bidang pengkhususannya.
3. Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan risalah
Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari kebenaran
serta melaksanakannya.
4. Memiliki kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat kepada
pemikiran murid-murid dan ia bersabar untuk menghadapi masalah yang timbul.
5. Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan tanda kebenaran
itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat mempengaruhi jiwa
murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya. Seperti makna sebuah
hadith Nabi S.A.W, “Iman itu bukanlah berharap dan berhias tetapi meyakinkan
dengan hati dan membuktikan dengan amal”.
6. Bahwa ia fleksibel dalam mempelbagaikan kaedah-kaedah pengajaran
dengan menggunakan kaedah yang sesuai bagi suasana tertentu. Ini memerlukan
bahawa guru dipersiapkan dari segi professional dan psikologikal yang baik.
7. Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup membimbing
murid-murid ke arah yang dikehendaki.
8. Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan trend-trend global yang
dapat mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan pemikiran mereka.
9. Bahawa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya, tidak pilih kasih,
ia mengutamakan yang benar.
Seperti makna firman Allah
S.W.T dalam surah al Maidah ayat ke 8,
“Janganlah kamu terpengaruh
oleh keadaan suatu kaum sehinga kamu tidak adil. Berbuat adillah, sebab itulah
yang lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah, sebab Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu buat”.
Inilah sifat-sifat
terpenting yang patut dipunyai oleh seorang guru Muslim di atas mana proses
penyediaan guru-guru itu harus dibina.
Buku-buku pendidikan telah
juga memberikan ciri-ciri umum seorang guru, ciri-ciri itu tidak terkeluar dan
sifat-sifat dan aspek-aspek berikut:
1. Tahap pencapaian ilmiah
2. Pengetahuan umum dan keluasan bacaan
3. Kecerdasan dan kecepatan berfikir
4. Keseimbangan jiwa dan kestabilan emosi
5. Optimisme dan entusiasme dalam pekerjaan
6. Kekuatan sahsiah
7. Memelihara penampilan(mazhar)
8. Positif dan semangat optimisme
9. Yakin bahawa ia mempunyai risalah(message)
Dari uraian di atas jelaslah
bahawa seorang guru Muslim memiliki peranan bukan sahaja di dalam sekolah,
tetapi juga diluarnya. Oleh yang demikian menyiapkannya juga harus
untuk sekolah dan untuk luar sekolah. Maka haruslah penyiapan ini juga dipikul
bersama oleh institusi-institusi penyiapan guru seperti fakulti-fakulti
pendidikan dan maktab-maktab perguruan bersama-sama dengan masyarakat Islam
sendiri, sehingga guru-guru yang dihasilkannya adalah guru yang soleh, membawa
perbaikan (muslih), memberi dan mendapat petunjuk untuk menyiarkan risalah
pendidikan Islam.
Petunjuk (hidayah) Islam di
dalam dan di luar adalah sebab tujuan pendidikan dalam Islam untuk membentuk
generasi-generasi umat Islam yang memahami dan menyedari risalahnya dalam
kehidupan dan melaksanakan risalah ini dengan sungguh-sungguh dan amanah dan
juga menyedari bahawa mereka mempunyai kewajipan kepada Allah S.W.T dan mereka
harus melaksanakan tugas itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Begitu juga
mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggung jawab, maka mereka menghadapinya
dengan sabar, hati-hati dan penuh prihatin. Begitu juga mereka sedar bahawa
mereka mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakatnya, maka mereka
melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab, amanah, professionalisme dan
kecekalan. Dengan demikian umat Islam akan mencapai cita-citanya dalam
kehidupan dengan penuh kemuliaan, kekuatan, ketenteraman dan kebanggaan. Sebab
Allah S.W.T telah mewajibkan kepada diriNya sendiri dalam surah al-Nahl ayat ke
97,
“la tidak akan mensia-siakan
pahala orang-orang yang berbuat baik”
Setelah berpanjang lebar
tentang kode etika keguruan dalam pandangan pendidikan Islam, marilah kita
tutup bagian ini dengan suatu misal atau model yang menjamin
bahwa bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan maka masyarakat
akan hidup bahagia dan individu-individu dan kumpulan-kumpulan akan hidup
dengan tenteram. Model ini tergambar dalam firman Allah S.W.T yang bermaksud,
“Katakanlah (wahai Muhammad)
marilah aku bacakan apa yang dihararamkan kepadamu oleh Tuhanmu. Hendaklah
berbuat baik kepada kedua ibu bapa. Janganlah kamu membunuh
anak-anakmu kerana takut kemiskinan, sebab Kamilah yang memberi mereka dan kamu
rezeki. Jangan kamu mendekati perkara-perkara buruk yang terang-terangan dan
yang tersembunyi. Jangan kamu membunuh diri yang dihararamkan kamu membunuhnya
kecuali dengan kebenaran, itulah wasiat Allah kepadamu, mudah-mudahan kamu
berakal. Jangan kamu mendekati harta anak yatim kecuali untuk yang lebih baik
sehinggalah ia dewasa. Sempumakanlah ukuran dan timbangan dengan adil. Allah
tidak memberi beban seseorang kecuali yang disanggupinya. Jika kamu berkata,
maka berbuat adillah walaupun kepada sanak saudara. Sempurnakanlah janjimu
kepada Allah. Itulah pesanNya bagimu, mudah-mudahan kamu ingat. Sungguh inilah jalanKu
yang lurus, maka ikutilah olehmu, jangan kamu ikut jalan-jalan lain nescaya
kamu bercerai-berai dari jalanNya. Itulah pesanNya bagimu, mudah-mudahan kamu
bertaqwa ”
Ayat-ayat ini mengandungi
sepuluh perakuan (wasaya) penting dalam kehidupan individu dan
kumpulan-kumpulan Islam dan kemanusiaan. Ia merupakan perlembagaan Ilahi dalam
pendidikan dan bimbingan akhlak dan sosial yang intinya adalah sebagai berikut;
1. Jangan mensyarikatkan Allah S.W.T.
2. Berbuat baik kepada ibu bapa.
3. Jangan membunuh anak kerana takut miskin.
4. Jangan mendekati perkara-perkara buruk.
5. Jangan membunuh manusia.
6. Jangan mendekati harta anak-anak yatim.
7. Sempurnakanlah timbangan dan ukuran dengan adil.
8. Tidak boleh dibebani seseorang lebih dari kemampuannya.
9. Berbuat adillah dalam berkata-kata walaupun pada kaum kerabat.
10. Sempumakanlah janjimu
dengan Allah S.W.T.
Selepas uraian tentang kode
etika dalam keguruan, marilah kita bahas tentang penghayatan dan pengamalan
nilai. Masalah penghayatan (internalization) sesuatu perkara berlaku bukan
hanya pada pendidikan agama saja tetapi pada aspek pendidikan, pendidikan
pra-sekolah, pendidikan sekolah, pengajian tinggi, pendidikan latihan perguruan
dan lain-lain. Sebab adalah terlalu dangkal kalau pendidikan itu hanya ditujukan
untuk memperoleh ilmu (knowledge) dan ketrampilan (skill) saja tetapi yang
lebih penting dari itu semua adalah penanaman sikap (attitude) yang positif
pada diri pendidik terhadap hal yang menjadi tumpuan pendidikan. Pendidikan
ilmu (knowledge) terutama yang berkenaan dengan fakta-fakta dan ketrampilan
tidaklah terlalu rumit sebab tidak terlalu banyak melibatkan nilai-nilai.
Tetapi sebaliknya pendidikan
sikap di mana terlibat nilai-nilai yang biasanya berasal dari cara-cara
pemasyarakatan yang diperoleh oleh kanak-kanak semasa kecil, apa lagi kalau
objek pendidikan itu memang adalah nilai-nilai yang tidak dapat dinilai dengan
betul atau salah tetapi dengan baik atau buruk, percaya atau tidak percaya,
suka atau tidak suka dan lain-lain lagi. Dalam keadaan terakhir ini pendidikan
tidak semudah dengan pendidikan fakta atau ketrampilan.
Pendidikan nilai-nilai, yang
selanjutnya kalau diulang-ulang sebab diteguhkan akan berubah menjadi
penghayatan nilai-nilai, mempunyai syarat-syarat yang berlainan dengan pendidikan
fakta-fakta ketrampilan.
1. Pertama sekali nilai itu mestilah mempunyai
model. Yang berarti tempat di mana nilai itu melekat supaya dapat disaksikan
bagaimana nilai-nilai itu beroperasi. Ambillah suatu nilai seperti kejujuran.
Nilai ini bersifat mujarrad(abstract), jadi tidak dapat diraba dengan
pancaindera. Tidak dapat dilihat dengan mata, rupanya bagaimana. Tidak dapat
dicium baunya, harum atau busuk dan sebagainya. Pendeknya, supaya nilai yang
bernama kejujuran itu dapat disaksikan beroperasi maka ia harus melekat pada
suatu model, seorang guru, seorang bapa, seorang kawan dan lain-lain. Kalau
model tadi dapat mencerminkan nilai-nilai yang disebut, kejujuran itu pada
dirinya, maka kejujuran itu boleh menjadi perangsang. Itu syarat pertama.
Syarat yang kedua kalau kejujuran itu dapat menimbulkan peneguhan pada diri
murid-murid maka ia akan dipelajari, ertinya diulang-ulang dan kemudian berubah
menjadi penghayatan. Syarat kedua agak rumit sedikit, sebab selain daripada
nilai kejujuran itu sendiri, juga model tempat kejujuran itu melekat diperlukan
berfungsi bersama untuk menimbulkan peneguhan itu. Dengan kata-kata yang lebih
sederhana, seorang guru atau ibu yang mengajarkan kejujuran kepada murid atau
anaknya, haruslah ia sendiri lebih dahulu bersifat jujur, kalau tidak maka
terjadi pertikaian antara perkataan dan perbuatan. Dalam keadaan terakhir ini,
guru sebagai perangsang(stumulus) telah gagal sebagai model, sebab ia tidak
akan memancing tingkahlaku kejujuran dan murid-muridnya.
2. Oleh sebab model tempat melekatnya nilai-nilai
yang ingin diajarkan kepada murid-murid adalah manusia biasa, dengan pengertian
dia mempunyai kekurangan-kekurangan, maka nilai-nilai yang akan diajarkan itu
boleh menurun nilainya disebabkan oleh kekurangan-kekurangan yang ada pada
model itu, malah ada kemungkinan anak didik mempelajari nilai sebaliknya. Jadi
daripada jujur dia menjadi tidak jujur, jika pada model itu timbul sifat-sifat
atau tingkah laku yang tidak meneguhkan kejujuran itu. Sebagai misal, ada
murid-murid yang benci kepada matematik sebab ia tidak suka kepada guru yang
mengajarkan matematik, kalau sikap ini dikembangkan, murid-murid boleh benci
kepada semua yang berkaitan dengan matematik, seperti pelajaran sains misalnya.
Oleh sebab itu dikehendaki dari guru-guru, terutama pada tingkat-tingkat
sekolah dasar agar mereka melambangkan ciri kesempumaan dari segi jasmaniah dan
rohaniah. Dengan kata lain syarat penghayatan nilai-nilai sangat bergantung
pada peribadi model yang membawa nilai-nilai itu.
3. Semua guru, terlepas daripada mata pelajaran
yang diajarkannya, adalah pengajar nilai-nilai tertentu. Sebab guru-guru sama
ada sedar atau tidak, mempengaruhi murid-muridnya melalui kaedah-kaedah dan
strategi-strategi pengajaran yang digunakan yang sebahagian besarnya termasuk
dalam kawasan “kurikulum informal”. Sebagaimana setiap guru, apapun yang
diajarkannya, adalah seorang guru bahasa maka setiap guru juga adalah seorang
pengajar nilai-nilai. Bila seorang guru memuji seorang murid, maka ia
meneguhkan sesuatu tingkahlaku. Bila guru menghukum seorang murid, maka ia
menghukum tingkahlaku tertentu. Malah bila guru tidak mengacuhkan seorang
murid, maka murid tersebut mungkin merasa bahawa guru tidak menyukai
perbuatannya. Ini semua adalah nilai-nilai. Begitu juga dengan pendidikan
agama, sebahagian, kalau tidak sebahagian besar, nilai-nilai agama itu sendiri
tidak diajarkan oleh guru-guru agama di sekolah, tetapi oleh guru-guru
matematik, geografi, sejarah dan lain-lain. Kalau mereka mencerminkan
nilai-nilai Islam dalam cara berpakaian, bersopan-santun, beribadat atau dengan
kata lain kalau amal mereka mencerminkan nilai-nilai Islam. Malah sebaliknya,
mungkin ada setengah-setengah guru-guru agama sendiri tidak menjadi perangsang
nilai-nilai Islam itu, kalau tidak menjadi perangsang negatif yang boleh
menimbulkan sifat anti-agama pada diri murid-murid, iaitu jika perangai mereka
sehari-hari bertentangan dengan nilai-nilai Islam, walaupun mereka sendiri
mengajarkan agama. Jadi jangankan menghayati agama, sebaliknya murid-murid
semakin menjauhi kalau tidak membenci segala yang berbau agama.
Inilah sebahagian
syarat-syarat yang perlu wujud untuk penghayatan nilai-nilai. Oleh sebab
pendidikan agama merupakan pendidikan ke arah nilai-nilai agama, maka orientasi
pendidikan agama haruslah ditinjau kembali sesuai dengan tujuan tersebut. Pendidikan
agama sekadar untuk lulus ujian mata pelajaran agama sudah lewat masanya.
Orientasi sekarang adalah ke arah kemasyarakatan yang bermotivasi dan
berdisiplin. Ini tidaklah mengesampingkan bahawa dalam pelajaran agama itu
sendiri ada perkara-perkara yang bersifat fakta-fakta dan
ketrampilan-ketrampilan. Maka pada yang terakhir ini juga berlaku kaedah
pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan. Tetapi memperlakukan semua pendidikan
agama sebagai pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan-ketrampilan saja adalah
suatu kesalahan besar yang perlu diperbaiki dengan segera. Sebab kalau tidak
maka suatu masa nanti akan timbul dalam masyarakat Islam sendiri ahli-ahli
agama yang tidak menghayati ajaran agama atau orang-orang orientalis yang
berdiam di negeri-negeri Timur.
Pengamalan nilai-nilai
adalah kelanjutan daripada penghayatan nilai. Nilai-nilai yang sungguh-sungguh
dihayati akan tercermin dalam amalan sehari-sehari. Sebab penghayatan itu pun
berperingkat-peringkat, mulai dari peringkat yang paling rendah sampai kepada
peringkat tinggi, seperti tergambar pada gambarajah di bawah,
Kelima :
Peringkat Perwatakan
Keempat :
Peringkat Organisasi
Ketiga :
Peringkat Penilaian
Kedua :
Peringkat Gerak balas
Pertama :
Peringkat Penerimaan
Bila nilai-nilai itu
dihayati sampai ke peringkat perwatakan maka ia sebati dengan sahsiah dan sukar untuk diubah dan sentiasa terpancar
dalam amalan sehari-hari.Kesimpulan. Oleh sebab kode etika itu adalah nilai-nilai maka ia perlu dihayati dan diamalkan, bukan
sekadar diketahui dan dihafalkan. Di situ juga telah dinyatakan perakuan yang
sepuluh (al-Wisaya al-’Asyarah) tentang segala kerjanya seorang muslim yang
tercantum dalam al-Quran (al-An’am: 151-153).
I. Penutup
Seandainya kita coba
mengkaji lebih dalam akan arti/makna dari lagu tersebut, maka tampaklah sebuah
gambaran keseharian seorang guru, dengan loyalitasnya, ketekunan serta
pengor-banan dalam mendidik siswa untuk mencapai suatu proses perkembangan yang
optimal. Namun, dibalik itu semua juga tersirat suatu dilema profesi ini dimana
seringkali guru tidak menerima penghargaan ataupun perlakuan yang sebanding
dengan apa yang telah dikorbankan. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai
seorang guru apakah yang harus kita lakukan? Bagaimana pula sebaiknya kita
menyikapi hal ini dengan lebih arif dan bijaksana? Karangan ini hanyalah sebuah
tulisan dari pemikiran dan diskusi yang teoritis ini, namun de-ngan yang
teoritis ini, penulis bisa berharap dapat memberikan masukan untuk merefleksikan
kembali pilihan kita.
Jabatan guru merupakan
jabatan Profesional, dan sebagai jabatan profesional, pemegangnya harus
memenuhi kualifikasi tertentu. Kriteria jabatan profesional antara lain bahwa
jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang
khusus, memerlukan persiapan lama untuk memangkunya, memerlukan latihan dalam
jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup dan keanggotaan yang
permanen, menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan, mempunyai organisasi
profesional, dan mempunyai kode etik yang di taati oleh anggotanya.
Jabatan guru belum dapat
memenuhi secara maksimal persyaratan itu, namun perkembangannya di tanah air
menunjukkan arah untuk terpenuhinya persyaratan tersebut. Usaha untuk ini
sangat tergantung kepada niat, perilaku dan komitmen dari guru sendiri dan
organisasi yang berhubungan dengan itu, selain juga, oleh kebijaksanaan
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Soetjipto, Raflis Kosasi, 1999, “Profesi Keguruan”, Cetakan ke I,
Jakarta, Penerbit Rineka Cipta
Suharsimi Arikunto, 1980 “Pengelolaan Kelas dan Siswa”, Cetakan ke
II, Jakarta : Penerbit Rajawali.
Suharsimi Arikunto, 1993, “Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi”,
Cetakan ke II, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain,
1997, “Strategi Belajar Mengajar”,
Cetakan ke I, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Syaiful Bahri Djamarah, 2000, “Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif”,
Cetakan ke I, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta
Dibuat oleh :
Nama : RENY DJAHROTU MUSLIMAH
Semester : VI
NIM : 09.A1.1.0228
Tidak ada komentar:
Posting Komentar