Perilaku Individu
Salah satu tugas
utama guru adalah berusaha mengembangkan perilaku peserta didiknya. Dalam hal
ini, Abin Syamsuddin Makmun (2003) menyebutkan bahwa tugas guru antara lain
sebagai pengubah perilaku peserta didik (behavioral
changes). Oleh karena itu itu, agar perilaku peserta didik dapat berkembang
optimal, tentu saja seorang guru seyogyanya dapat memahami tentang bagaimana
proses dan mekanisme terbentuknya perilaku para peserta didiknya. Untuk
memahami perilaku individu dapat dilihat dari dua pendekatan, yang saling
bertolak belakang, yaitu: (1) behaviorisme
dan (2) holistik atau humanisme. Kedua pendekatan ini memiliki
implikasi yang luas terhadap proses pendidikan, baik untuk kepentingan
pembelajaran, pengelolaan kelas, pembimbingan serta berbagai kegiatan
pendidikan lainnya. Di bawah ini akan diuraikan mekanisme pembentukan perilaku
dilihat dari kedua pendekatan tersebut dengan merujuk pada tulisan Abin Syamsuddin Makmun (2003).
a.
Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran
Behaviorisme
Behaviorisme memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk
melalui proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dengan
mengkondisikan atau menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam
lingkungan. Behaviorisme menjelaskan
mekanisme proses terjadi dan berlangsungnya perilaku individu dapat
digambarkan dalam bagan berikut :
S ----> R
atau S -----> O ------> R
S = stimulus
(rangsangan); R = Respons (perilaku, aktivitas) dan O=organisme
(individu/manusia).
Karena stimulus datang dari
lingkungan (W = world) dan R juga ditujukan kepadanya, maka mekanisme terjadi
dan berlangsungnya dapat dilengkapkan seperti tampak dalam bagan berikut ini :
W ----> S -----> O -----> R ------> W
Yang
dimaksud dengan lingkungan (W = world) di sini dapat dibagi ke dalam dua jenis
yaitu :
(1) Lingkungan objektif (umgebung=segala
sesuatu yang ada di sekitar individu dan secara potensial dapat melahirkan S).
(2) Lingkungan efektif (umwelt=segala
sesuatu yang aktual merangsang organisme karena sesuai dengan pribadinya
sehingga menimbulkan kesadaran tertentu pada diri organisme dan ia
meresponsnya)
Perilaku
yang berlangsung seperti dilukiskan dalam bagan
di atas biasa disebut dengan perilaku
spontan.
Contoh
: seorang mahasiswa sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di
ruangan kelas yang terasa panas, secara
spontan mahasiswa tersebut mengipas-ngipaskan buku untuk meredam kegerahannya.
Ruangan
kelas yang panas merupakan lingkungan
(W) dan menjadi stimulus (S) bagi
mahasiswa tersebut (O), secara spontan mengipaskan-ngipaskan buku merupakan
respons (R) yang dilakukan mahasiswa. Merasakan ruangan tidak terasa gerah (W)
setelah mengipas-ngipaskan buku.
Sedangkan
perilaku sadar dapat
digambarkan sebagai berikut:
W ----> S -----> Ow -----> R ----->
W
Contoh :
ketika sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di ruangan kelas
yang terasa agak gelap karena waktu
sudah sore hari ditambah cuaca mendung, ada seorang mahasiswa yang sadar
kemudian dia berjalan ke depan dan meminta ijin kepada dosen untuk menyalakan
lampu neon yang ada di ruangan kelas, sehingga di kelas terasa terang dan mahasiswa lebih nyaman dalam
mengikuti perkuliahan.
Ruangan
kelas yang gelap, waktu sore hari, dan
cuaca mendung merupakan lingkungan (W), ada mahasiswa yang sadar akan keadaan
di sekelilingnya (Ow), --meski di
ruangan kelas terdapat banyak mahasiswa namun mereka mungkin tidak menyadari
terhadap keadaan sekelilingnya--. berjalan ke depan, meminta ijin ke dosen, dan
menyalakan lampu merupakan respons yang dilakukan oleh mahasiswa yang sadar
tersebut (R), suasana kelas menjadi
terang dan mahasiswa menjadi lebih menyaman dalam mengikuti perkuliahan
merupakan (W).
Sebenarnya,
masih ada dua unsur penting lainnya dalam diri setiap individu yang mempengaruhi efektivitas mekanisme
proses perilaku yaitu receptors (panca indera sebagai alat
penerima stimulus) dan effectors (syaraf, otot dan sebagainya
yang merupakan pelaksana gerak R).
Selengkapnya
mekanisme perilaku sadar dapat digambarkan sebagai berikut :
W -----> S -----> r -----> Ow ----> e ----> R -----> W
Dengan mengambil contoh
perilaku sadar tadi, bagan di atas dapat dijelaskan bahwa mahasiswa yang sadar (Ow) mungkin merasakan penglihatannya (receptor) menjadi tidak jelas, sehingga tulisan dosen di papan tulis tidak terbaca
dengan baik. Menggerakkan kaki menuju ke depan, mengucapkan minta izin kepada
dosen, tangan menekan saklar lampu merupakan effector.
b.
Mekanisme
Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Holistik (Humanisme)
Holistik atau humanisme
memandang bahwa perilaku itu bertujuan, yang berarti aspek-aspek intrinsik
(niat, motif, tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu untuk melahirkan suatu perilaku, meskipun
tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan. Holistik atau humanisme menjelaskan mekanisme
perilaku individu dalam konteks what
(apa), how (bagaimana), dan why (mengapa). What (apa)
menunjukkan kepada tujuan (goals/incentives/ purpose) apa yang hendak
dicapai dengan perilaku itu. How (bagaimana) menunjukkan kepada jenis
dan bentuk cara mencapai tujuan (goals/incentives/pupose), yakni
perilakunya itu sendiri. Sedangkan why
(mengapa) menunjukkan kepada motivasi yang menggerakan terjadinya dan
berlangsungnya perilaku (how), baik bersumber dari diri individu itu
sendiri (motivasi instrinsk) maupun yang bersumber dari luar individu (motivasi
ekstrinsik). Secara skematik rangkaian, proses dan mekanisme terjadinya
perilaku menurut pandangan Holistik, dapat
dijelaskan dalam bagan berikut :
Kebutuhan dirasakan (felt needs) -------> Dorongan (motivation) -----> Aktivitas yang dilakukan (Instrumental behavior) --------> Tujuan dihayati (goals/ incentive)
Berdasarkan bagan di atas tampak bahwa terjadinya
perilaku individu diawali dari adanya kebutuhan. Setiap individu, demi
mempertahankan kelangsungan dan meningkatkan kualitas hidupnya, akan merasakan
adanya kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam dirinya.
Dalam hal ini, Maslow mengungkapkan
jenis-jenis kebutuhan-individu secara hierarkis, yaitu: (1) kebutuhan
fisiologikal, seperti : sandang, pangan dan papan; (2) kebutuhan keamanan,
tidak dalam arti fisik, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual;
(3) kebutuhan kasih sayang atau penerimaan; (4) kebutuhan prestise atau harga
diri, yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5)
kebutuhan aktualisasi diri. Tingkatan kebutuhan tersebut dapat diragakan
seperti tampak dalam gambar berikut ini :
ESTEEM NEEDS
LOVE NEEDS
SAFETY NEEDS
PHYSIOLOGICAL
NEEDS
Sementara itu, Stranger (Nana Syaodih Sukmadinata,2005)
mengetengahkan empat jenis kebutuhan individu, yaitu:
(1)
Kebutuhan
berprestasi (need for achievement),
yaitu kebutuhan untuk berkompetisi, baik
dengan dirinya atau dengan orang lain dalam mencapai prestasi yang tertinggi.
(2)
Kebutuhan
berkuasa (need for power), yaitu
kebutuhan untuk mencari dan memiliki kekuasaan dan pengaruh terhadap orang
lain.
(3)
Kebutuhan
untuk membentuk ikatan (need for
affiliation), yaitu kebutuhan untuk mengikat diri dalam kelompok, membentuk
keluarga, organisasi ataupun persahabatan.
(4)
Kebutuhan
takut akan kegagalan (need for fear of
failure), yaitu kebutuhan untuk menghindar diri dari kegagalan atau sesuatu
yang menghambat perkembangannya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi
dorongan (motivasi) yang merupakan
kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan
entusiasmenya dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik yang bersumber dari
dalam diri individu itu sendiri (motivasi
intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi
ekstrinsik).
Jika kebutuhan yang serupa muncul kembali maka pola
mekanisme perilaku itu akan dilakukan pengulangan (sterotype behavior),
sehingga membentuk suatu siklus, yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Motif
Rasa puas Perilaku
Tujuan
Berkaitan dengan motif individu, untuk keperluan studi
psikologis, motif individu dapat dikelompokkan ke dalam 2 golongan, yaitu :
1.
Motif
primer (basic motive dan emergency motive); menunjukkan kepada motif yang tidak pelajari,
dikenal dengan istilah drive, seperti
: dorongan untuk makan, minum, melarikan diri, menyerang, menyelamatkan diri
dan sejenisnya.
2.
Motif
sekunder; menunjukkan kepada motif yang berkembang dalam individu karena
pengalaman dan dipelajari, seperti : takut yang dipelajari, motif-motif sosial
(ingin diterima, konformitas dan sebagainya), motif-motif obyektif dan interest
(eksplorasi, manipulasi. minat), maksud dan aspirasi serta motif berprestasi.
Untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari
indikator-indikatornya, yaitu : (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan;
(3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam
mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai
tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang
dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Dalam diri individu akan didapati sekian banyak motif
yang mengarah kepada tujuan tertentu. Dengan beragamnya motif yang terdapat
dalam individu, adakalanya individu harus berhadapan dengan motif yang saling
bertentangan atau biasa disebut konflik.
Bentuk-bentuk
konflik tersebut diantaranya adalah :
1. Approach-approach conflict; jika
individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif
sama-sama kuat, dikehendaki serta bersifat positif.
2. Avoidance-avoidance conflict; jika
individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif
sama-sama kuat namun tidak dikehendaki dan bersifat negatif.
3. Approach-avoidance conflict; jika
individu dihadapkan pada dua motif atau lebih, yang satu positif dan
dikehendaki dan yang lainnya motif
negatif serta tidak dikehendaki namun sama kuatnya.
Jika
seorang individu dihadapkan pada bentuk-bentuk motif seperti dikemukakan di
atas tentunya dia akan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dan sangat
mungkin menjadi perang batin yang berkepanjangan.
Dalam
pandangan holistik, disebutkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam
dirinya, setiap aktivitas yang dilakukan individu akan mengarah pada tujuan
tertentu. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan, tercapai atau tidak tercapai
tujuan tersebut. Jika tercapai tentunya individu merasa puas dan memperoleh
keseimbangan diri (homeostatis).
Namun sebaliknya, jika tujuan tersebut tidak tercapai dan kebutuhannya tidak
terpenuhi maka dia akan kecewa atau dalam psikologi disebut frustrasi. Reaksi individu terhadap
frustrasi akan beragam bentuk perilakunya, bergantung kepada akal sehatnya (reasoning, inteligensi). Jika akal
sehatnya berani mengahadapi kenyataan
maka dia akan lebih dapat menyesuaikan diri secara sehat dan rasional (well adjustment). Namun, jika akal sehatnya tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, perilakunya lebih dikendalikan oleh sifat emosinalnya,
maka dia akan mengalami penyesuaian diri yang keliru (maladjusment).
Bentuk
perilaku salah suai (maldjustment),
diantaranya : (1) agresi marah; (2) kecemasan tak berdaya; (3) regresi
(kemunduran perilaku); (4) fiksasi; (5)
represi (menekan perasaan); (6) rasionalisasi (mencari alasan); (7) proyeksi
(melemparkan kesalahan kepada lingkungan); (8) sublimasi (menyalurkan hasrat
dorongan pada obyek yang sejenis); (9) kompensasi (menutupi kegagalan atau
kelemahan dengan sukses di bidang lain); (10) berfantasi (dalam angan-angannya,
seakan-akan ia dapat mencapai tujuan yang didambakannya).
Di
sinilah peran guru untuk sedapat mungkin membantu para peserta didiknya agar
terhindar dari konflik yang berkepanjangan dan rasa frustasi yang dapat
menimbulkan perilaku salah-suai. Sekaligus juga dapat memberikan bimbingan
untuk mengatasinya apabila peserta didik mengalami konflik yang berkepanjangan
dan frustrasi.
Untuk
lebih jelasnya, di bawah ini akan
dikemukakan contoh terbentuknya perilaku berdasarkan pendekatan holistik.
Contoh
1 :
Karena
gagal mengikuti mengikuti testing pada salah satu Fakultas di Perguruan
Tinggi ternama melalui jalur UMPTN (frustration), dan setelah
mempertimbangkan segala sesuatunya (moralitas),
secara sukarela Arjuna memutuskan untuk melanjutkan pada salah program studi
yang ada di FKIP UNIKU (sublimasi).
Ketika
mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan yang merupakan salah satu mata
kuliah yang wajib diikuti para mahasiswa, sejak awal dia sudah menyadari bahwa
dia kekurangan pengetahuan, sikap dan
keterampilannya dalam bidang Psikologi Pendidikan sehingga dia menyadari
Psikologi Pendidikan merupakan kebutuhan bagi dirinya (need felt) dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya (goals/incentives).
Untuk
tujuan jangka pendeknya, dengan berbekal kesadaran diri bahwa dia memiliki potensi dalam bidang
psikologi pendidikan, dia berharap dapat
memperoleh kemampuan baru berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
berhubungan dengan psikologi pendidikan, yang diperolehnya dari setiap
pertemuan tatap muka dengan dosen.
Tujuan
jangka menengah, pada akhir semester dia
berharap lulus mata kuliah Psikologi Pendidikan dengan mendapatkan nilai A
(kebutuhan harga diri). Selain itu, nanti pada saat mengikuti Program Praktek
Lapangan (PPL), dia berharap dapat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai untuk jangka panjang, dia benar-benar
berharap dapat menjadi guru yang efektif dan kompeten.
Keinginan
dan tujuan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam bidang psikologi
pendidikan, memperoleh kesuksesan
belajar dengan mendapatkan nilai A, memperoleh kesuksesan dalam
mengikuti Program Praktek Lapangan (PPL), keinginan menjadi guru yang efektif
dan kompeten kemudian berkembang menjadi dorongan yang kuat dalam dirinya (motivasi intrinsik)
Pada
saat mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan dia senantiasa aktif bertanya
dan mengemukakan pendapatnya tentang materi yang disampaikan, membaca dan
mengkaji buku-buku psikologi pendidikan yang diwajibkan dan dianjurkan oleh
dosen. Setiap tugas yang diberikan diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan tepat
waktu. Dia juga sangat menyukai diskusi tentang psikologi pendidikan dengan
teman-temannya di luar kelas (perilaku instrumental).
Berkat
aktivitas dan kesungguhannya dalam mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan,
dia memperoleh pengetahuan yang luas, sikap yang positif dan memiliki keterampilan yang bisa dibanggakan dalam
menerapkan prinsip-prinsip psikologi.
Pada akhir semester, dia memperoleh nilai terbaik di kelasnya, pada saat
PPL dia termasuk mahasiswa praktikan yang disukai oleh peserta didiknya, bahkan
kepala sekolahnya meminta dia untuk menjadi guru di sekolah menjadi tempat
prakteknya.
Setelah
dia selesai kuliah dia menjadi guru di sebuah sekolah, para peserta didik
sangat menyenangi dia karena dia sangat dekat dan akrab dengan peserta
didiknya. Begitu juga, rekan-rekan seprofesinya sangat hormat dan kagum atas
kinerjanya sebagai guru. Pada saat mengikuti lomba pemilihan guru berprestasi
tingkat kabupaten, dia berhasil meraih sebagai juara pertama.
Dia
sangat mensyukuri atas segala keberhasilannya, baik ketika selama menjadi
mahasiswa maupun setelah menjadi guru (homeostatis).
Bagi dirinya, Perkuliahan Psikologi Pendidikan telah mendasari dia menjadi
seorang yang sukses.
Contoh
2 :
Astrajingga rekan seangkatan Arjuna. Dia bercita-cita
menjadi seorang ekonom, karena gagal mengikuti mengikuti testing pada Fakultas
Ekonomi di Perguruan Tinggi ternama
melalui jalur UMPTN (frustration), kemudian dia dipaksa orang tuanya untuk
melanjutkan pada salah satu program studi di FKIP UNIKU (motivasi ekstrinsik/substitusi),
sehingga selama kuliah, dia belum menemukan apa tujuan kuliahnya.
Dia
tidak begitu berminat mengikuti perkuliahan mata kuliah kependidikan, termasuk mata kuliah
Psikologi Pendidikan (kurang merasakan
adanya kebutuhan dan kekurangan motivasi). Pikirannya selalu terganggu bahwa seolah-olah dia sedang kuliah pada
Fakutas Ekonomi di Perguruan Tinggi yang
diidam-idamkannya dan dia merasa
seolah-olah bakal menjadi Ekonom (fantasi).
Dia sering tidak masuk kuliah, sekalipun dia masuk kuliah hanya sebatas takut
dimarahi oleh dosen yang bersangkutan dan takut dinyatakan tidak lulus (kebutuhan rasa aman). Tugas-tugas yang
diberikan dosen pun jarang dikerjakan,
kalaupun dikerjakan hanya alakadarnya dan selalu telat disetorkan. Dia
dihadapkan pada perang batin antara terus melanjutkan studi yang tidak sesuai
dengan cita-citanya atau keluar dari
kuliah dengan resiko orang tua akan marah besar terhadap dirinya (conflict).
Selama
satu semester mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan, dia hanya memperoleh
sebagian kecil saja pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi
pendidikan dan pada akhirnya dia dinyatakan tidak lulus dan terpaksa harus mengikuti remedial. Sambil menangis (regresi), dia menyalahkan dosen bahwa
dosennya tidak becus mengajar (proyeksi).
sumber : Arwin Zoelfatas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar