SELAMAT BERGABUNG DENGAN BLOG PENGAWAS DAN GURU PROFESIONAL

SELAMAT BERGABUNG DENGAN BLOG KAMI,SEMOGA BERMANFAAT

Senin, 26 Desember 2011

Perilaku Individu


Perilaku Individu
Salah satu tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan perilaku peserta didiknya. Dalam hal ini, Abin Syamsuddin Makmun (2003) menyebutkan bahwa tugas guru antara lain sebagai pengubah perilaku peserta didik (behavioral changes). Oleh karena itu itu, agar perilaku peserta didik dapat berkembang optimal, tentu saja seorang guru seyogyanya dapat memahami tentang bagaimana proses dan mekanisme terbentuknya perilaku para peserta didiknya. Untuk memahami perilaku individu dapat dilihat dari dua pendekatan, yang saling bertolak belakang, yaitu: (1) behaviorisme dan (2) holistik atau humanisme. Kedua pendekatan ini memiliki implikasi yang luas terhadap proses pendidikan, baik untuk kepentingan pembelajaran, pengelolaan kelas, pembimbingan serta berbagai kegiatan pendidikan lainnya. Di bawah ini akan diuraikan mekanisme pembentukan perilaku dilihat dari kedua pendekatan tersebut dengan merujuk pada tulisan  Abin Syamsuddin Makmun (2003).
a.     Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Behaviorisme
Behaviorisme memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dengan mengkondisikan atau menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam lingkungan. Behaviorisme menjelaskan  mekanisme proses terjadi dan berlangsungnya perilaku individu dapat digambarkan dalam bagan berikut :



 
 S   ---->   R  atau  S  ----->  O ------>  R




S = stimulus (rangsangan); R = Respons (perilaku, aktivitas) dan O=organisme (individu/manusia).

Karena stimulus datang dari lingkungan (W = world) dan R juga ditujukan kepadanya, maka mekanisme terjadi dan berlangsungnya dapat dilengkapkan seperti tampak dalam bagan berikut ini :
 W ---->  S ----->  O  ----->   R ------> W

Yang dimaksud dengan lingkungan (W = world) di sini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu :
(1)   Lingkungan objektif (umgebung=segala sesuatu yang ada di sekitar individu dan secara potensial dapat melahirkan S).
(2)   Lingkungan efektif (umwelt=segala sesuatu yang aktual merangsang organisme karena sesuai dengan pribadinya sehingga menimbulkan kesadaran tertentu pada diri organisme dan ia meresponsnya)
Perilaku yang berlangsung seperti dilukiskan dalam bagan  di atas biasa disebut dengan perilaku spontan.
Contoh : seorang mahasiswa sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di ruangan kelas yang  terasa panas, secara spontan mahasiswa tersebut mengipas-ngipaskan buku untuk meredam kegerahannya.
Ruangan kelas yang panas  merupakan lingkungan (W) dan  menjadi stimulus (S) bagi mahasiswa tersebut (O), secara spontan mengipaskan-ngipaskan buku merupakan respons (R) yang dilakukan mahasiswa. Merasakan ruangan tidak terasa gerah (W) setelah mengipas-ngipaskan buku.
Sedangkan perilaku sadar dapat digambarkan sebagai berikut:
 
                           W ----> S ----->  Ow  ----->  R -----> W


Contoh : ketika sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di ruangan kelas yang  terasa agak gelap karena waktu sudah sore hari ditambah cuaca mendung, ada seorang mahasiswa yang sadar kemudian dia berjalan ke depan dan meminta ijin kepada dosen untuk menyalakan lampu neon yang ada di ruangan kelas, sehingga di kelas terasa  terang dan mahasiswa lebih nyaman dalam mengikuti perkuliahan.
Ruangan kelas yang gelap, waktu sore hari,  dan cuaca mendung merupakan lingkungan (W), ada mahasiswa yang sadar akan keadaan di sekelilingnya (Ow), --meski di ruangan kelas terdapat banyak mahasiswa namun mereka mungkin tidak menyadari terhadap keadaan sekelilingnya--. berjalan ke depan, meminta ijin ke dosen, dan menyalakan lampu merupakan respons yang dilakukan oleh mahasiswa yang sadar tersebut (R),  suasana kelas menjadi terang dan mahasiswa menjadi lebih menyaman dalam mengikuti perkuliahan merupakan (W).
Sebenarnya, masih ada dua unsur penting lainnya dalam diri setiap individu  yang mempengaruhi efektivitas mekanisme proses perilaku yaitu receptors (panca indera sebagai alat penerima stimulus) dan effectors (syaraf, otot dan sebagainya yang merupakan pelaksana gerak R).
Selengkapnya mekanisme perilaku sadar dapat digambarkan sebagai berikut :

                                W -----> S -----> r ----->  Ow ---->  e  ----> R -----> W
    
 Dengan mengambil contoh perilaku sadar tadi, bagan di atas dapat dijelaskan bahwa  mahasiswa yang sadar (Ow) mungkin merasakan penglihatannya (receptor) menjadi tidak jelas, sehingga  tulisan dosen di papan tulis tidak terbaca dengan baik. Menggerakkan kaki menuju ke depan, mengucapkan minta izin kepada dosen, tangan menekan saklar lampu merupakan effector. 
b.     Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Holistik (Humanisme)
Holistik atau humanisme memandang bahwa perilaku itu bertujuan, yang berarti aspek-aspek intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu  untuk melahirkan suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan. Holistik atau humanisme menjelaskan mekanisme perilaku individu  dalam konteks what (apa),  how (bagaimana), dan  why (mengapa). What (apa) menunjukkan kepada tujuan (goals/incentives/ purpose) apa yang hendak dicapai dengan perilaku itu. How (bagaimana) menunjukkan kepada jenis dan bentuk cara mencapai tujuan (goals/incentives/pupose), yakni perilakunya  itu sendiri. Sedangkan why (mengapa) menunjukkan kepada motivasi yang menggerakan terjadinya dan berlangsungnya perilaku (how), baik bersumber dari diri individu itu sendiri (motivasi instrinsk) maupun yang bersumber dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Secara skematik rangkaian, proses dan mekanisme terjadinya perilaku menurut pandangan Holistik, dapat  dijelaskan dalam bagan berikut :



  
 Kebutuhan dirasakan (felt needs) -------> Dorongan (motivation) -----> Aktivitas  yang dilakukan (Instrumental behavior) --------> Tujuan dihayati (goals/ incentive)



 Berdasarkan bagan di atas tampak bahwa terjadinya perilaku individu diawali dari adanya kebutuhan. Setiap individu, demi mempertahankan kelangsungan dan meningkatkan kualitas hidupnya, akan merasakan adanya kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam dirinya. Dalam hal ini, Maslow  mengungkapkan jenis-jenis kebutuhan-individu secara hierarkis, yaitu: (1) kebutuhan fisiologikal, seperti : sandang, pangan dan papan; (2) kebutuhan keamanan, tidak dalam arti fisik, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan kasih sayang atau penerimaan; (4) kebutuhan prestise atau harga diri, yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) kebutuhan aktualisasi diri. Tingkatan kebutuhan tersebut dapat diragakan seperti tampak dalam gambar berikut ini :



SELF ACTUALIZATION  
    ESTEEM  NEEDS

                  LOVE NEEDS    
                      SAFETY NEEDS   
                           PHYSIOLOGICAL NEEDS

Sementara itu, Stranger (Nana Syaodih Sukmadinata,2005) mengetengahkan empat jenis kebutuhan individu, yaitu:
(1)   Kebutuhan berprestasi (need for achievement), yaitu kebutuhan  untuk berkompetisi, baik dengan dirinya atau dengan orang lain dalam mencapai prestasi yang tertinggi.
(2)   Kebutuhan berkuasa (need for power), yaitu kebutuhan untuk mencari dan memiliki kekuasaan dan pengaruh terhadap orang lain.
(3)   Kebutuhan untuk membentuk ikatan (need for affiliation), yaitu kebutuhan untuk mengikat diri dalam kelompok, membentuk keluarga, organisasi ataupun persahabatan.
(4)   Kebutuhan takut akan kegagalan (need for fear of failure), yaitu kebutuhan untuk menghindar diri dari kegagalan atau sesuatu yang menghambat perkembangannya.   
Kebutuhan-kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi dorongan  (motivasi) yang merupakan kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Jika kebutuhan yang serupa muncul kembali maka pola mekanisme perilaku itu akan dilakukan pengulangan (sterotype behavior), sehingga membentuk suatu siklus, yang dapat digambarkan sebagai berikut :
 
Motif

                                                     Rasa puas                            Perilaku

 
Tujuan


 
Berkaitan dengan motif individu, untuk keperluan studi psikologis, motif individu dapat dikelompokkan ke dalam 2 golongan, yaitu :
1.     Motif primer (basic motive dan emergency motive);  menunjukkan kepada motif yang tidak pelajari, dikenal dengan istilah drive, seperti : dorongan untuk makan, minum, melarikan diri, menyerang, menyelamatkan diri dan sejenisnya.
2.     Motif sekunder; menunjukkan kepada motif yang berkembang dalam individu karena pengalaman dan dipelajari, seperti : takut yang dipelajari, motif-motif sosial (ingin diterima, konformitas dan sebagainya), motif-motif obyektif dan interest (eksplorasi, manipulasi. minat), maksud dan aspirasi serta motif berprestasi.
Untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari indikator-indikatornya, yaitu : (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan;  (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Dalam diri individu akan didapati sekian banyak motif yang mengarah kepada tujuan tertentu. Dengan beragamnya motif yang terdapat dalam individu, adakalanya individu harus berhadapan dengan motif yang saling bertentangan  atau  biasa disebut konflik.
Bentuk-bentuk konflik tersebut diantaranya adalah :
1.       Approach-approach conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat, dikehendaki serta bersifat positif.
2.       Avoidance-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat namun tidak dikehendaki dan bersifat negatif.
3.       Approach-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih, yang satu positif dan dikehendaki dan yang lainnya  motif negatif serta tidak dikehendaki namun sama kuatnya.
Jika seorang individu dihadapkan pada bentuk-bentuk motif seperti dikemukakan di atas tentunya dia akan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dan sangat mungkin menjadi perang batin yang berkepanjangan.
Dalam pandangan holistik, disebutkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam dirinya, setiap aktivitas yang dilakukan individu akan mengarah pada tujuan tertentu. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan, tercapai atau tidak tercapai tujuan tersebut. Jika tercapai tentunya individu merasa puas dan memperoleh keseimbangan diri (homeostatis). Namun sebaliknya, jika tujuan tersebut tidak tercapai dan kebutuhannya tidak terpenuhi maka dia akan kecewa atau dalam psikologi disebut frustrasi. Reaksi individu terhadap frustrasi akan beragam bentuk perilakunya, bergantung kepada akal sehatnya (reasoning, inteligensi). Jika akal sehatnya berani mengahadapi kenyataan maka dia akan lebih dapat menyesuaikan diri secara sehat dan rasional (well adjustment). Namun,  jika akal sehatnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, perilakunya lebih dikendalikan oleh sifat emosinalnya, maka dia akan mengalami penyesuaian diri yang keliru (maladjusment).
Bentuk perilaku salah suai (maldjustment), diantaranya : (1) agresi marah; (2) kecemasan tak berdaya; (3) regresi (kemunduran perilaku); (4) fiksasi;  (5) represi (menekan perasaan); (6) rasionalisasi (mencari alasan); (7) proyeksi (melemparkan kesalahan kepada lingkungan); (8) sublimasi (menyalurkan hasrat dorongan pada obyek yang sejenis); (9) kompensasi (menutupi kegagalan atau kelemahan dengan sukses di bidang lain); (10) berfantasi (dalam angan-angannya, seakan-akan ia dapat mencapai tujuan yang didambakannya).
Di sinilah peran guru untuk sedapat mungkin membantu para peserta didiknya agar terhindar dari konflik yang berkepanjangan dan rasa frustasi yang dapat menimbulkan perilaku salah-suai. Sekaligus juga dapat memberikan bimbingan untuk mengatasinya apabila peserta didik mengalami konflik yang berkepanjangan dan frustrasi.
Untuk lebih jelasnya,  di bawah ini akan dikemukakan contoh terbentuknya perilaku berdasarkan pendekatan holistik.
Contoh 1 :
Karena gagal mengikuti mengikuti testing pada salah satu Fakultas di Perguruan Tinggi  ternama melalui jalur UMPTN (frustration), dan setelah mempertimbangkan segala sesuatunya (moralitas), secara sukarela Arjuna memutuskan untuk melanjutkan pada salah program studi yang ada di FKIP UNIKU (sublimasi).
Ketika mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan yang merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diikuti para mahasiswa, sejak awal dia sudah menyadari bahwa dia  kekurangan pengetahuan, sikap dan keterampilannya dalam bidang Psikologi Pendidikan sehingga dia menyadari Psikologi Pendidikan merupakan kebutuhan bagi dirinya (need felt) dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya (goals/incentives).
Untuk tujuan jangka pendeknya, dengan berbekal kesadaran  diri bahwa dia memiliki potensi dalam bidang psikologi pendidikan, dia  berharap dapat memperoleh kemampuan baru berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan psikologi pendidikan, yang diperolehnya dari setiap pertemuan tatap muka dengan dosen.
Tujuan jangka  menengah, pada akhir semester dia berharap lulus mata kuliah Psikologi Pendidikan dengan mendapatkan nilai A (kebutuhan harga diri). Selain itu, nanti pada saat mengikuti Program Praktek Lapangan (PPL), dia berharap dapat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai untuk jangka panjang, dia benar-benar berharap dapat menjadi guru yang efektif dan kompeten.
Keinginan dan tujuan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam bidang psikologi pendidikan, memperoleh kesuksesan  belajar dengan mendapatkan nilai A, memperoleh kesuksesan dalam mengikuti Program Praktek Lapangan (PPL), keinginan menjadi guru yang efektif dan kompeten kemudian berkembang menjadi dorongan yang kuat dalam dirinya (motivasi intrinsik)
Pada saat mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan dia senantiasa aktif bertanya dan mengemukakan pendapatnya tentang materi yang disampaikan, membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan yang diwajibkan dan dianjurkan oleh dosen. Setiap tugas yang diberikan diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu. Dia juga sangat menyukai diskusi tentang psikologi pendidikan dengan teman-temannya di luar kelas  (perilaku instrumental).
Berkat aktivitas dan kesungguhannya dalam mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan, dia memperoleh pengetahuan yang luas, sikap yang positif dan memiliki  keterampilan yang bisa dibanggakan dalam menerapkan prinsip-prinsip psikologi.  Pada akhir semester, dia memperoleh nilai terbaik di kelasnya, pada saat PPL dia termasuk mahasiswa praktikan yang disukai oleh peserta didiknya, bahkan kepala sekolahnya meminta dia untuk menjadi guru di sekolah menjadi tempat prakteknya.
Setelah dia selesai kuliah dia menjadi guru di sebuah sekolah, para peserta didik sangat menyenangi dia karena dia sangat dekat dan akrab dengan peserta didiknya. Begitu juga, rekan-rekan seprofesinya sangat hormat dan kagum atas kinerjanya sebagai guru. Pada saat mengikuti lomba pemilihan guru berprestasi tingkat kabupaten, dia berhasil meraih sebagai juara pertama.
Dia sangat mensyukuri atas segala keberhasilannya, baik ketika selama menjadi mahasiswa maupun setelah menjadi guru (homeostatis). Bagi dirinya, Perkuliahan Psikologi Pendidikan telah mendasari dia menjadi seorang yang sukses.
Contoh 2 :
Astrajingga  rekan seangkatan Arjuna. Dia bercita-cita menjadi seorang ekonom, karena gagal mengikuti mengikuti testing pada Fakultas Ekonomi di Perguruan Tinggi  ternama melalui jalur UMPTN (frustration),  kemudian dia dipaksa orang tuanya untuk melanjutkan pada salah satu program studi di FKIP UNIKU (motivasi ekstrinsik/substitusi), sehingga selama kuliah, dia belum menemukan apa tujuan kuliahnya.
Dia tidak begitu berminat mengikuti perkuliahan mata  kuliah kependidikan, termasuk mata kuliah Psikologi Pendidikan (kurang merasakan adanya kebutuhan dan kekurangan motivasi). Pikirannya selalu terganggu  bahwa seolah-olah dia sedang kuliah pada Fakutas Ekonomi di Perguruan Tinggi  yang diidam-idamkannya dan dia  merasa seolah-olah bakal menjadi Ekonom (fantasi). Dia sering tidak masuk kuliah, sekalipun dia masuk kuliah hanya sebatas takut dimarahi oleh dosen yang bersangkutan dan takut dinyatakan tidak lulus (kebutuhan rasa aman). Tugas-tugas yang diberikan  dosen pun jarang dikerjakan, kalaupun dikerjakan hanya alakadarnya dan selalu telat disetorkan. Dia dihadapkan pada perang batin antara terus melanjutkan studi yang tidak sesuai dengan cita-citanya  atau keluar dari kuliah dengan resiko orang tua akan marah besar terhadap dirinya (conflict).
Selama satu semester mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan, dia hanya memperoleh sebagian kecil saja pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan dan pada akhirnya dia dinyatakan tidak lulus dan terpaksa  harus mengikuti remedial. Sambil menangis (regresi), dia menyalahkan dosen bahwa dosennya tidak becus mengajar (proyeksi).

sumber : Arwin Zoelfatas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar