PEMBERIAN HUKUMAN KEPADA PESERTA DIDIK
A. Pengertian Hukuman
Seperti telah diketahui bersama
bahwa pelaksanaan pendidikan dan pengajaran tidak akan terlepas dari pada
bagaimana cara untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dari semula dan/atau
bagaimana cara mengajar agar bisa berjalan dengan lancar berdasarkan metode
atau alat yang akan digunakan.
Alat pendidikan ialah suatu
tindakan atau situasi yang sengaja diadakan untuk tercapainya suatu tujuan
pendidikan tertentu.
Dalam menggunakan alat pendidikan
ini, pribadi orang yang menggunakannya adalah sangat penting, sehingga
penggunaan alat pendidikan itu bukan sekedar persoalan teknis belaka, akan
tetapi menyangkut persoalan batin atau pribadi anak.
Hukuman sebagai salah satu teknik
pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi,
apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat
terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan.
Hukuman merupakan alat pendidikan
represif, disebut juga alat pendidikan korektif, yaitu bertujuan untuk
menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib. Alat
pendidikan represif diadakan bila terjadi suatu perbuatan yang diangap bertentangan
dengan peraturan-peraturan atau suatu perbuatan yang dianggap melanggar
peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan sebenarnya bernilai hukuman juga.
Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam pemakaian teknik penguatan negatif
maupun tidak memberikan penguatan yang diharapkan siswa dalam teknik
penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman walaupun tidak langsung. Kalau
penguatan negatif dan penghapusan dapat dikatakan hukuman tidak langsung, maka
yang dimaksud dengan hukuan di sini adalah hukuman langsung, dalam arti dapat
dengan segera menghentikan tingkah laku siswa yang menyimpang.
Dengan kata lain, hukuman adalah
penyajian stimulus tidak menyenangkan untuk menghilangkan dengan segera tingkah
laku siswa yang tidak diharapkan. Yang termasuk alat pendidikan di antaranya
ialah berupa hukuman dan/atau ganjaran.
B. Hakikat adanya Hukuman
Beberapa definisi hukuman telah
dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya:
1. Hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar
dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak
akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak
mengulanginya. (Amin Danien Indrakusuma, 1973:14(
2. Menghukum adalah memberikan atau mengadakan
nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan
maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya untuk menuju kearah
perbaikan. (Suwarno, 1981:115)
C. Prinsip Hukuman
Dalam memberikan suatu hukuman,
para pendidik hendaknya berpedoman kepada perinsip "Punitur, Quia
Peccatum est" artinya dihukum karena telah bersalah, dan "Punitur,
ne Peccatum" artinya dihukum agar tidak lagi berbuat kesalahan,
(M.J. Langeveld, 1995:117). Jika kita mengikuti dua macam perinsip tersebut,
maka akan kita dapatkan dua macam titik pandang, sebagaiman yang dikemukakan
oleh Amin Danien Indrakusuma, (1973:148) yaitu:
1. Titik pandang yang berpendirian bahwa hukuman
itu ialah sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahan yang diperbuat. Dengan
demikian, pandangan ini mempunyai sudut tinjauan ke belakang, tinjauan kepada
masa yang lampau, yaitu pandangan "Punitur, Quia Peccatum est";
2. Titik pandang yang berpendirian bahwa hukuman
itu adalah sebagai titik tolak untuk mengadakan perbaikan. Jadi, pandangan ini
mempunyai sudut tinjau ke muka atau ke masa yang akan datang, yaitu pandangan
"Punitur, ne Peccatur" .
D. Teori Hukuman
Berdasarkan sudut pandang
tersebut di atas, maka timbullah beberapa teori tentang hukuman, di antaranya
ialah:
1. Teori Hukum Alam
a. Teori hukum alam ini
dikemukakan oleh penganjur Pendidikan Alam, yaitu J.J. Rousseau. Rousseau tidak
menghendaki hukuman yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang menghukumnya.
Yang dimaksud di sini ialah, bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang
sewajarnya dari suatu perbuatan, hukuman harus merupakan sesuatu yang natuur
menurut hukum-hukum alam, sesuatu akibat logis yang tidak dibuat-buat.
Misalnya, anak yang senang memanjat pohon, adalah wajar dan logis apabila suatu
ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah merupakan suatu hukuman menurut alam sebagai
akibat dari perbuatanya dari senang memanjat pohon (Amin Danien Indrakusuma,
1973:148);
b. J.J. Rousseau dengan aliran negativisme dalam pendidikan,
berpendapat bahwa pendidikan bagi anak manusia tak berguna. Semua pembawaan
anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang sendiri dan menyerahkannya
kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam yang menghukumnya, anak
akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini dinamai hukum alam.
Contoh, anak bermain dengan air
panas dan akhirnya tersiramlah kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit,
hukuman lain tidak ada baginya. Dari hukuman alam tersebut, anak akan menerima
pendidikan dan berusaha tidak menjalankan permainan yang berbahaya itu lagi,
atau ia meneruskannya akan tetapi ia berusaha mengelak. (Ag. Soejono, 1980:165)
a. Kebaikan teori hukum alam
Menurut Spencer (Suwarno, 1992:116) hukuman ini
mempunyai kebaikan-kebaikan sebagai berikut:
1). anak belajar mengetahui
akibat yang wajar dari perbuatannya;
2). anak merasa hukuman ini
sebagai hukuman yang dirasakan adil;
3). karena itu, hukuman ini
dirasakan tidak menyakitkan anak itu sendiri;
4). hubungan antara guru
dan anak tetap terpelihara dengan baik.
b. Kelemahan hukum alam
Hukuman alam mengandung berbagai kekurangan
(Suwarno, 1992:116) sebagai berikut:
1). akibatnya kadang-kadang
terlalu berat;
2). anak hanya akan memperhatikan
akibat dari pada perbuatannya, kurang memperhatikan sebab-sebabnya, anak akan
bertambah hati-hati tetapi kurang menyadari masalah norma baik dan buruk dari
perbuatannya.
Ag. Soejono, (1980:166) mengemukakan kelemahan
lain dari pada adanya hukuman alam, yaitu: anak didik yang hanya dikenakan
hukuman alam akhirnya mempunyai sikap hidup yang hanya memperhatikan lahiriah
saja, ia hanya memperhatikan akibat dari perbuatannya yang salah dan berusaha
menghindarinya. Segala cipta, rasa, karsa dan karyanya hanya bertujuan
mengelakan dari akibat perbuatannya, tidak untuk memperbaiki kelakuannya atau
sikap jiwanya. Ia tidak akan berkembang menjadi manusia yang berbudi luhur,
melainkan menjadi manusia yang pandai menghindari akibat perbuatan hinanya.
Bahkan, hukuman alam terkadang baru diderita jauh di hari kemudian sesudah amat
terlambat.
2. Teori Ganti Rugi
a. Dalam hal ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung
resiko dari perbuatannya, misalnya anak yang mengotorkan atau merobekkan buku
milik kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas,
kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti kaca jendela itu dengan
kaca yang baru (Amin Danien Indrakusuma, 1973:149);
b. Teori ganti rugi, di mana anak harus mengganti
kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya anak memecahkan kaca jendela
tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang tabungannya (Soewarnoa, 1992:115)
3. Teori Menakut-Nakuti
a. Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti
anak agar anak tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam
hal ini nilai didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini
harus dijaga jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena
rasa takut saja, melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya
kesadaran, sebab apabila tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut
kepada bapak atau ibu guru. Maka jika tidak ada bapak atau ibu guru,
kemungkinan besar ia akan mengulang kembali perbuatannya. Ia akan mengulangi
perbuatannya secara sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat
dikatakan bahwa nilai didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali. (Amin
Danien Indrakusuma, 1973:115).
b. Soewarno (1992:115), mengemukakan bahwa teori
menakutkan ialah memberi hukuman supaya menimbulkan rasa takut pada anak;
c. Sedangkan pendapat Ag. Soejono (1980:164),
bahwa teori ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada orang lain. Biasanya
hukuman dilaksanakan di muka umum. Pelanggaran kedua kalinya dihukum lebih
berat, sebab perulangan pelanggaran berarti jeranya pelanggar. Begitulah
hukuman makin lama makin berat, agar orang lain menjadi lebih takut. Fungsi
hukuman dengan teori hukuman menakuti ini terhadap orang lain juga preventif.
4. Teori Balas Dendam
Amin Danien Indrakusuma
(1973:150), mengemukakan bahwa macam hukuman yang paling jelek, yang paling jahat
dan paling tidak dipertanggung jawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman
yang didasarkan kepada rasa sentimen. Sentimen ini dapat ditimbulkan
oleh kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang dialami oleh guru, baik mengenai
hubungannya dengan orang-orang lain, maupun hubungannya dengan para siswa
secara langsung. Misalnya, karena seorang guru merasa dikecewakan dalam hal
cinta oleh seorang gadis atau pemuda, maka ia melempiaskan kekecewaannya itu
kepada para siswanya. Bagi guru muda, tidak terkecuali pria atau wanita,
mungkin merasa bahwa seorang siswa telah dianggap sebagai saingan atau
penghalang dari maksud-maksudnya, maka ia berusaha mencari kesempatan untuk
setiap saat akan menghukum-nya atau menjatuhkannya.
5. Teori Memperbaiki
a. Satu-satunya hukuman yang dapat diterima oleh
dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat memperbaiki, hukuman yang bisa
menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Dan
dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di dalam hatinya sendiri tidak
akan mengulangi kesalahannya kembali. Hukuman yang demikian inilah yang
dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat memperbaiki ini
disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman pedagogis. (Amin Danien
Indrakusuma, 1973:151);
b. Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai
pendidik, maksudnya untuk memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.
(Suwarno, 1992:115);
c. Teori ini bertujuan untuk memperbaiki. Adapun
yang perlu diperbaiki ialah hubungan antara pemegang kekuaaan dan pelanggar dan
sikap serta perbuatan pelanggar. Hubungan antara penguasa dengan umum yang
tadinya telah menjadi rusak dengan terjadinya pelanggaran oleh orang yang
bersikap dan berbuat salah itu perlu dibetulkan lagi. Rusaknya hubungan itu
mengakibatkan hilangnya kepercayaan penguasa terhadap pelanggar. Fungsi hukuman
dengan teori membetulkan ini korektif dan edukatif.
Di dalam dunia pendidikan, pendidik tidak menganut
teori lain dari pada teori pembetulan. Hal ini sesuai dengan tugas pendidik,
yaitu membimbing anak didik agar berbuat dan bersikap luhur. Tidak pada
tempatnya pendidik menakut-nakuti dan membalas dendam anak didiknya. Anak didik
yang takut pada pendidiknya menutup diri baginya dan tidak bersedia menerima
petunjuk. Pendidik yang membalas dendam anak didiknya menganggap anak didiknya
sebagai musuh, bukan sebagai anak asuhannya. (Ag. Seojono, 1980:165). Amin
Danien Indrakusuma (1973,148) mengutarakan contoh hukuman paedagogis misalnya
anak yang melanggar tata tertib dapat dihukum dengan cara pembiasan,
pengawasan, penyadaran yang diarahkan pada pembentukan diri sendiri.
10. Teori Melindungi
Teori melindungi, anak dihukum untuk melindungi
lingkungan atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan salah yang merusak/
merugikan lingkungan tersebut. (Suwarno, 1992:115).
11. Teori Menjerakan
Teori ini bertujuan agar pelanggar sesudah
menjalankan hukumannya akan jera dan tidak akan menjalankan pelanggaran lagi.
Fungsi hukuman tersebut adalah preventif, yaitu mencegah terulangnya
pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman.
E. Pemberian Hukuman
Jenis atau bentuk hukuman yang dijatuhkan berbagai
macam. J.J. Hasibuan (1988:56-61) mengungkapkan tentang bentuk dari hukuman
tersebut, yaitu:
a. Bentuk Hukuman
Bentuk-bentuk hukuman lebih kurang dapat
dikelompokan menjadi empat kelompok, yaitu:
1). hukuman fisik,misalnya dengan
mencubit, menampar, memukul dan lain sebagainya;
2). hukuman dengan kata-kata atau
kalimat yang tidak menyenangkan, seperti omelan, ancaman, kritikan, sindiran,
cemoohan dan lain sejenisnya;
3). hukuman dengan stimulus fisik
yang tidak menyenangkan, misalnya menuding, memelototi, mencemberuti dan lain
sebagainya;
4). hukuman dalam bentuk
kegiatan yang tidak menyenangkan, misalnya disuruh berdiri di depan kelas,
dikeluarkan dari dalam kelas, didudukan di samping guru, disuruh menulis suatu
kalimat sebanyak puluhan atau ratusan kali, dan lain sebagainya.
b. Keunggulan dan
Kelemahan Hukuman
Keunggulan utama dari hukuman bahwa pemakaiannya
dengan tepat akan dapat menghentikan dengan segera tingkah laku siswa yang
mengganggu jalannya kegiatan belajar mengajar. Seorang siswa yang mengganggu
jalannya kegiatan jalannya kegiatan belajar mengajar, dengan sendirinya akan
tidak mengganggu lagi bila hukuman dengan menyuruhnya keluar dari kelas. Tetapi
pada sisi lain, hukuman mengandung kelemahan berupa sejumlah akibat sampingan
yang negatif.
Akibat-akibat negatif yang dapat terjadi antara
lain:
1). hubungan antara guru
dan siswa menjadi terganggu, misalnya siswa mendendam pada guru;
2). siswa menarik diri
dari kegiatan belajar mengajar, misalnya tidak mau mendengarkan pelajaran;
3). siswa melakukan
tidakan-tindakan agresif, misalnya merusak fasilitas sekolah;
4). siswa mengalami
gangguan psikologis, misalnya rasa rendah diri.
c. Seni Memberi Hukuman
Seni memberi hukuman terhadap
anak didik sebagaimana diungkapkan oleh JVS. Tondowidjojo CM. (1991: 42-44)
bahwa hukuman-hukuman itu seharusnya jarang diberikan, dan harus diseleksi
terlebih dahulu serta harus dipertanggung jawabkan. Ini berarti kita tidak
boleh menetapkan atas dasar kebencian atau rasa balas dendam. Supaya
hukuman-hukuman itu bisa dipertanggung jawabkan, kita harus menjatuhkannya
sedemikian rupa sehingga betul-betul mengakibatkan perbaikan atas
kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Beberapa sikap pendidik yang tidak
dipertanggung jawabkan ialah dengan memuji anak didik yang sombong, menegur
anak didik yang rakus, yang menyalin bacaan dengan tulisan yang tidak terang,
selama istirahat melarang anak didiknya untuk berbuat sesuatu dan lain
sebagainya. Umpamanya lagi ada seorang ibu yang merusak permainan anaknya
sebagai hukuman terhadap anaknya yang telah merusak permainan anak yang lain.
Hukuman-hukuman tersebut tidak
hanya berupa siksaan jasmaniah saja, yang penting harus mampu memberi semangat
dan menimbulkan sikap untuk memperbaiki diri. Inilah suatu hal yang harus
dipikirkan dalam memberikan suatu obat yang mujarab atau suatu suntikan yang
konstruktif kepada anak didik. Apabila tindakan kita tidak mampu menyembuhkan
berarti jasa atau pengabdian kita menjadi hilang dan sia-sia. Oleh karena itu,
hukuman-hukuman yang kita berikan harus merupakan suatu perbaikan yang
menyeluruh, serta harus menjajikan suatu kesempatan untuk bangun kembali dan
untuk merehabilitasi diri. Hukuman-hukuman yang dijatuhkan harus juga bersifat
psikologis. Kita sebaiknya memperhatikan dengan seksama bahwa sebenarnya apa
yang bagi kita merupakan satu siksaan atau ganjaran, tidak selalu demikian bagi
anak didik. Oleh karena itu, kita harus benar-benar mengenal pribadi anak didik
supaya hukuman yang akan diterapkan dapat tepat dan konstruktif. Banyak
sanksi-sanksi yang antipsikologis dan tidak menguntungkan. Tindakan yang
demikian harus kita ubah, seperti:
a. Menyuruh anak
didik yang pemalu untuk memberikan selamat di muka umum, ini menghadapkan anak
didik pada siksaan batin;
b. Menyuruh
seseorang untuk meminta penjelasan pada orang yang besar bicaranya sambil
mengatakan bahwa kita tidak pernah bertemu dengan orang semacam itu. Ini
berarti memberikan kesempatan pada seseorang itu untuk menjadi lebih sombong
dari orang lain;
c. Menghukum dengan cara mengambil hak seseorang, seperti tidak boleh
ikut jalan-jalan selama beberapa waktu, dan sebagai gantinya diberi tugas yang
lain.
Ada beberapa pendidik yang selalu
memandang anak didik dari segi kejelekannya saja dan sebaliknya ada juga yang
hanya memenadang dari segi kebaikannya saja. Seorang pendidik yang mengenal
pribadi anak didiknya, tidak akan menyuruh anak didik yang berbuat gaduh untuk
menulis kata-kata seperti "aku malas" sebanyak duapuluh kali sebagai
hukumannya. Kita justeru harus memberi hukuman yang mengandung semangat.
Apabila akan diberi tugas menulis, pilihlah kata-kata seperti "aku akan
bekerja dengan lebih baik" dan lain sebagainya. Kita jangan sekali-kali
memberikan tugas-tugas yang tidak senonoh, atau menyuruh mereka untuk menulis
ungkapan-ungkapan yang tidak baik.
Dengan demikian, kita akan
menanamkan pada diri anak didik itu pikiran-pikiran yang tidak baik. Dari hal
tersebut di atas, kita dapat melihat betapa dibutuhkan rasa cinta kasih yang
mendalam dari pendidik di dalam menerapkan hukuman itu. Suatu hukuman yang
dijatuhkan pada tempat dan waktu yang tepat, yang disertai pula dengan
membeda-bedakan akan lebih membimbing dan efektip hasilnya, selain itu hal ini
akan lebih diterima dengan baik oleh anak didik.
d. Syarat-Syarat
Pemberian Hukuman
Beberapa persyaratan
pemberian hukuman yang terpenting (Amin Danien Indrakusuma, 1973:155) di
antaranya ialah:
1). Pemberian hukuman harus tetap
dalam jalinan cinta kasih sayang. Kita memberikan hukuman kepada anak, bukan
karena ingin menyakiti hati anak, bukan karena ingin melampiaskan rasa dendam
dan sebagainya. Kita menghukum anak demi untuk kebaikan, demi kepentingan anak,
demi masa depan dari anak. Oleh karena itu, sehabis hukuman itu dilaksanakan,
maka tidak boleh berakibat putusnya hubungan cinta kasih sayang tersebut;
2). Pemberian hukuman
harus didasarkan kepada alasan "keharusan". Artinya, sudah tidak ada
alat pendidikan yang lain yang bisa dipergunakan. Dalam hal ini kiranya patut
diperingatkan, bahwa kita jangan terlalu terbiasa dengan hukuman. Kita tidak
boleh terlalu murah dengan hukuman. Hukuman, kita berikan kalau memang hal itu
betul-betul diperlukan, dan harus kita berikan secara bijaksana;
3). Pemberian hukuman harus
menimbulkan kesan pada hati anak. Dengan adanya kesan itu, anak akan selalu
mengingat pada peristiwa tersebut dan kesan itu akan selalu mendorong anak
kepada kesadaran dan keinsyafan, tetapi sebaliknya hukuman tersebut tidak boleh
menimbulkan kesan negatif pada anak. Misalnya saja menyebabkan rasa putus asa
pada anak, rasa rendah diri dan sebagainya;
4). Pemberian hukuman harus
menimbulkan keinsyafan dan penyesalan pada anak. Inilah yang merupakan hakikat
dari tujuan pemberian hukuman. Dengan adanya hukuman, anak harus merasa insyaf
dan menyesali perbuatan-perbuatannya yang salah itu, dan dengan keinsyafan ini
anak bejanji di dalam hatinya untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi;
5). Pada akhirnya, pemberian
hukuman harus diikuti dengan pemberian ampun dan disertai dengan harapan serta
kepercayaan. Setelah anak selesai menjalani hukumannya, maka guru sudah tidak
lagi menaruh atau mempunyai rasa ini dan itu terhadap anak tersebut. Guru harus
membebaskan diri dari rasa ini dan itu dari anak tersebut. Di samping itu,
kepada anak harus diberikan kepercayaan kembali serta harapan, bahwa anak itu
pun akan sanggup berbuat baik seperti kawan-kawannya yang lain;
6). Suwarno (1992:116)
tentang syarat-syarat pemberian hukuman hendaknya:
(a). hukuman harus selaras dengan
kesalahannya;
(b). hukuman harus
seadil-adilnya;
(c). hukuman harus lekas
dijalankan agar anak mengerti benar apa sebabnya ia dihukum dan apa maksud
hukuman itu;
(d). memberikan hukuman harus dalam
keadaan tenang, jangan dalam keadaan emosional (marah);
(e). hukuman harus sesuai dengan
umur anak;
(f). hukuman harus diikuti dengan
penjelasan, sebab bertujuan untuk membentuk kata hati, tidak hanya sekedar
menghukum saja;
(g). hukuman harus diakhiri
dengan pemberian ampun;
(h). hukuman kita gunakan jika
kita terpaksa, atau hukuman merupakan alat pendidikan yang terakhir karena
penggunaan alat-alat pendidikan yang lain sudah tidak dapat lagi;
(i). yang berhak memberikan
hukuman hanyalah mereka yang cinta pada anak saja, sebab jika tidak berdasarkan
cinta, maka hukuman akan bersifat balas dendam;
(j). hukuman harus
menimbulkan penderitaan pada yang dihukum dan yang menghukum (sebab yang
menghukum itu terpaksa).
e. Memilih Hukuman dan
Menentukan Hukuman
Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan dalam memilih dan menentukan hukuman (Amin Danien Indrakusuma,
1973:157) adalah sebagai berikut:
1. Macam dan besar kecilnya pelanggaran: Besar kecilnya
pelanggaran akan menentukan berat ringannya hukuman yang harus diberikan;
2. Pelaku pelanggaran:
3. Hukuman diberikan dengan melihat jenis kelamin: usia dan
halus kasarnya perangai dari pelaku pelanggaran;
4. Akibat-akibat yang mungkin timbul dalam hukuman: Pemberian
hukuman jangan sampai menimbulkan akibat yang negatif pada diri anak;
5. Pilihlah bentuk-bentuk hukuman yang pedagogis: Hukuman yang
dipilih harus sedikit mungkin segi negatifnya baik dipandang dari sisi murid,
guru, maupun dari orang tua;
6. Sedapat mungkin jangan menggunakan hukuman badan: Hukuman
badan adalah hukuman yang menyebabkan rasa sakit pada tubuh anak, hukuman badan
merupakan sarana terakhir dari proses pendisiplinan.
Mengenai hukuman badan
(Adnan Hasan Sholih Baharits, 1966), sebagian ahli membolehkan dengan alasan
bahwa di lingkungan keluarga hal ini sering dilakukan, dan sebagian lagi tidak
membolehkan dengan alasan bahwa hukuman badan tidak layak bagi manusia yang
mempunyai akal, budi, pikiran dan hati. Terlepas dari perbedaan di atas, satu
hal yang harus diingat bahwa hukuman badan itu tidak boleh sampai menimbulkan
cedera atau cacat pada anak.
f. Tingkatan Hukuman
Hukuman yang dapat
dikenakan kepada anak-anak bermacam macam jenis, sehubungan dengan hal ini,
Suwarno (1992: 177) mengungkapkan berdasarkan pandangan W.Stern tedapat tiga
tingkatan hukuman sesuai dengan perkembangan anak, yaitu:
1. Hukuman Asosiatif, di mana penderitaan yang ditimbulkan
akibat hukuman tadi ada asosiasinya dengan kesalahan anak. Misalnya seorang
anak yang akan mengambil sesuatu di atas meja dipukul jarinya. Hukuman
asosiasif dipergunakan bagi anak kecil;
2. Hukuman Logis, di mana anak dihukum
sehingga mengalami penderitaan yang ada hubungan logis dengan kesalahannya.
Hukuman logis ini dipergunakan pada anak-anak yang sudah agak besar yang sudah
mampu memahami hubungan antara kesalahan yang diperbuatnya dengan hukuman yang
diterimanya;
3. Hukuman Moril, tingkatan ini tercapai
pada anak-anak yang lebih besar, di mana anak tidak hanya sekedar menyadari
hubungan logis antara kesalahan dengan hukumannya, tetapi tergugah perasaan
kesusilaannya atau terbangun kata hatinya, ia merasa harus menerima hukuman
sebagai sesuatu yang harus dialaminya.
g. Bentuk Hukuman
Ag. Soejono (1980:169)
mengemukakan bentuk hukuman dengan tiga bentuk, yaitu:
1. Bentuk Isyarat, usaha pembetulan kita
lakukan dalam bentuk isyarat muka dan isyarat anggota badan lainnya. Contohnya,
ada seorang anak didik yang sedang berbuat salah, misalnya bermain-main dengan
mengusik adiknya. Pendidik memandangnya dengan raut muka muram yang menandakan
bahwa ia tidak menyetujui anak didik berbuat semacam itu. Ia menggelengkan
kepala dan menggerakkan tangannya sebagai tanda agar anak didik pergi
meninggalkan adiknya. Apabila anak didik karena asyiknya mengusik tadi tidak
melihat bahwa pendidik memandangnya, maka pendidik memberi isyarat pendahuluan
dengan bertepuk tangan untuk menarik perhatiaannya;
2. Bentuk kata, isyarat dalam bentuk kata dapat
berisi kata-kata peringatan, kata-kata teguran dan akhirnya kata-kata ancaman.
Kalau perlu bentuk isyarat diganti dengan bentuk kata berupa kata-kata
peringatan, menyebut nama anak yang nakal tadi dengan suara tegas singkat,
misalnya "Amir..!".
3. Bentuk Perbuatan, usaha pembetulan dalam bentuk
perbuatan adalah lebih berat dari usaha sebelumya. Pendidik mengeterapkan pada
anak didik yang berbuat salah, suatu perbuatan yang tidak menyenangkan baginya
atau ia menghalang-halangi anak didik berbuat sesuatu yang menjadi
kesenangannya. Misalnya, pendidik mengancam anak didik seperti yang sudah diancamkan,
atau tidak memperbolehkannya ikut berjalan-jalan pada hari Ahad yang akan
datang.
a. Pendapat lain sebagaimana diugkapkan oleh J.J.
Hasibuan (1988:60), bahwa bentuk-bentuk hukuman lebih kurang dapat dikelompokan
menjadi empat kelompok, yaitu:
b. hukuman fisik, misalnya mencubit, menampar, memukul
dan lain sebagainya;
c. hukuman dengan kata-kata atau kalimat yang tidak
menyenangkan, seperti omelan, ancaman, kritikan, sindiran, cemoohan dan
sejenisnya;
d. hukuman dengan stimulus fisik yang tidak menyenangkan,
sperti menuding, memelototi, mencemberuti, dan sejenisnya;
e. hukuman dalam bentuk kegiatan
yang tidak menyenangkan, misalnya disuruh berdiri di depan kelas, dikeluarkan
dari kelas, didudukan di samping guru, disuruh menulis suatu kalimat sebanyak
puluhan kali atau ratusan kali, dan sebagainya.
Hukuman dalam pendidikan
memiliki pengertian yang luas, mulai dari hukuman ringan sampai kepada hukuman
berat, sejak dari kerlingan mata yang menyengat sampai kepada pukulan yang agak
menyakitkan. Sekalipun hukuman banyak macamnya, pengertian pokok dalam setiap
hukuman tetap satu, yaitu adanya unsur yang menyakitkan, baik jiwa ataupun
badan.
Ahmad Tafsir (1992:186);
Sebenarnya, tidak ada ahli pendidikan yang menghendaki digunakannya hukuman
dalam pendidikan kecuali bila dalam keadaan terpaksa. Hadiah atau pujian jauh
lebih dipentingkan ketimbang hukuman. Dalam pendidikan Islam diakui diakui
perlunya hukuman berupa pukulan dalam hal bila anak yang berumur 10 tahun belum
juga mau shalat. Ahli didik muslim berpendapat bahwa hukuman itu tidak boleh
berupa siksaan, baik badan maupun jiwa. Bila keadaan amat memerlukan hukuman,
maka hukuman itu harus harus digunakan dengan sangat hati-hati (Fahmi,
1979:135). Anak-anak jangan dicela dengan keras, tetapi dengan lemah lembut.
Kadang-kadang gunakanlah dengan muka masam atau cara lain yang menggambarkan
ketidaksenangan kita kepada kelakuan anak.
Kesimpulannya ialah jangan memberikan hukuman. Bila terpaksa, berikanlah
hukuman yang mendidik, tidak menyakiti badan atau jiwa. Hukuman harus adil
(sesuai dengan kesalahan). Anak harus mengetahui mengapa ia dihukum.
Selanjutnya, hukuman itu harus membawa anak kepada kesadaran akan kesalahannya.
Hukuman jangan meninggalkan dendam kepada anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar